Teks dan Foto : Tri Damayantho
Jakarta – Kapankah sastra Indonesia lahir? Topik ini sering dibicarakan dikalangan pengamat sastra, dan secara pribadi, Sapardi Djoko Damono (SDD) menyatakan, “tidak perlu ada kata sepakat dalam hal ini”. Pernyataan ini terdapat pada makalah beliau yang berjudul, “Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan” yang disampaikan saat Seri Kuliah Umum “Keindonesiaan dalam Sastra” di Komunitas Salihara, Rabu malam, 21 September 2011.
“Bahasa Indonesia tumbuh dari bahasa Melayu dan dalam perkembangannya ia melibatkan kelompok-kelompak etnik lain yang masing-masing sudah memiliki kebudayaan dan bahasa sendiri – suatu hal yang justru memperkaya khazanah sastra itu sendiri.” Kutipan tersebut seakan menjawab pertanyaan diawal tulisan ini. Seperti yang kita ketahui bersama, Bahasa Indonesia yang digunakan sekarang ini telah melalui proses panjang. Dan ternyata peranan puisi serta media cetak mendapat perhatian khusus dari “Sang Dosen” terbukti bahasan mengenai puisi dan media cetak memulai kuliah terbuka ini.
Selain membahas peranan puisi dan media cetak, SDD juga menggali lebih dalam peranan Balai Pustaka dalam perkembangan kesusastraan Indonesia selanjutnya. Balai Pustaka – salah satu pelopor penerbitan novel di Indonesia – pernah menyelenggarakan suatu sayembara mengarang pada tahun 1937. ”Perlumbaan Mengarang” tersebut antara lain diumumkan dalam Pedoman Pembaca tahun 1937. Ternyata pengumuman yang dimuat tersebut menjadi bahan penting untuk mengetahui pandangan pemerintah (kolonial) saat itu.
Selain Balai Pustaka, terdapat penerbit-penerbit komersial yang hampir sepenuhnya menganggap karya sastra sebagai suatu komoditi, ada juga penerbit yang mempunyai misi tertentu ; penerbit-penerbit suatu agama, dan ada juga penerbit yang berani menerbitkan karya sastra pelopor pada zamannya. Yang sangat terkenal adalah manakala penerbit Pustaka Rakyat memberanikan diri untuk menerbitkan karya Armijn Pane yang berjudulBelenggu. Karya ini ditolak oleh Balai Pustaka, padahal Armijn Pane adalah salah satu redaktur dari penerbit pemerintah tersebut. Karya Armijn Pane ini merupakan salah satu karya pelopor dimana aturan-aturan penulisan karya yang ditentukan oleh Balai Pustaka, diobrak-abrik di buku tersebut.
Selain yang tersebut diatas, SDD juga mengamati perkembangan seni pertunjukan dan munculnya drama pada saat sebelum kemerdekaan. Dalam makalah yang dibawakannya, SDD menjelaskan perkembangan teater dan drama di Indonesia dari awal pertumbuhannya – sekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, sampai perkembangan di jaman Jepang, dan klimaksnya ketika Usmar Ismail mementaskan salah satu dramanya yang terkenal berjudul Citra.
Dalam perkembangannya, kesusastraan Indonesia melewati berbagai tahapan. Pada awalnya, sastrawan Indonesia saat itu memanfaatkan bahasa lisan dan kemudian mengembangkannya dalam bahasa tulis. Itulah salah satu sebabnya mengapa terdapat berbagai ragam penulisannya. Disamping itu, karya sastra umumnya disiarkan lewat media cetak berkala, suatu hal yang menyebabkan dekatnya hubungan antara fiksi dan fakta. 1
Hal ini yang menyebabkan timbulnya pertanyaan mengenai asal usul kesusastraan Indonesia, dilain itu muncul pula teori-teori serta pandangan mengenai kesusastraan Indonesia itu sendiri. Hal ini tentunya sangat menarik untuk dijadikan penelitian dan menjadi pekerjaan rumah untuk sastrawan-sastrawan muda Indonesia.
Kuliah umum yang juga dihadiri oleh Sitok Srengenge dan Goenawan Mohamad ditutup dengan sesi tanya jawab. Sebagian besar penanya adalah mahasiswa maupun pengamat sastra, yang mempunyai keingintahuan dan kegelisahan yang besar terhadap kesusastraan Indonesia.
Komunitas Salihara, yang merupakan sayap kesenian komunitas Utan Kayu, menyelenggarakan Seri Kuliah Umum “Keindonesiaan dalam Sastra” yang dimulai dari tanggal 14 September 2011 sampai 5 Oktober 2011, setiap hari Rabu. Selengkapnya dapat dilihat dilink berikut. (@treedam)
Makalah Sapardi Djoko Damono dapat dibaca dan diunduh dengan mengikuti link ini.
No comments:
Post a Comment