Sastra
Indonesia
Sastra Indonesia, adalah sebuah istilah yang
melingkupi berbagai macam karya sastra di Asia
Tenggara. Istilah "Indonesia "
sendiri mempunyai arti yang saling melengkapi terutama dalam cakupan geografi
dan sejarah poltik di wilayah tersebut.
Sastra Indonesia sendiri dapat merujuk
pada sastra yang dibuat di wilayah Kepulauan
Indonesia. Sering juga secara luas dirujuk kepada sastra yang bahasa
akarnya berdasarkan Bahasa Melayu (dimana bahasa Indonesia adalah satu turunannya).
Dengan pengertian kedua maka sastra ini dapat juga diartikan sebagai sastra
yang dibuat di wilayah Melayu (selain Indonesia, terdapat juga beberapa negara
berbahasa Melayu seperti Malaysia dan Brunei), demikian pula bangsa
Melayu yang tinggal di Singapura.
Periodisasi
Sastra Indonesia
terbagi menjadi 2 bagian besar, yaitu:
Bahasa lisan adalah suatu bentuk komunikasi
yang unik dijumpai pada manusia yang menggunakan kata-kata yang diturunka dari kosakata yang besar (kurang lebih 10.000) bersama-sama
dengan berbagai macam nama yang diucapkan melalui atau menggunakan
organ mulut. Kata-kata yang terucap tersambung
menjadi untaian frasa dan kalimat yang dikelompokkan secara sintaktis. Kosa
kata dan sintaks yang digunakan, bersama-sama dengan bunyi bahasa yang digunakannya membentuk jati diri
bahasa tersebut sebagai bahasa
alami.
Menulis adalah suatu kegiatan untuk menciptakan suatu catatan atau informasi pada
suatu media dengan menggunakan aksara.
Menulis biasa dilakukan
pada kertas dengan
menggunakan alat-alat seperti pena
atau pensil. Pada awal sejarahnya, menulis dilakukan dengan
menggunakan gambar, contohnya tulisan hieroglif (hieroglyph) pada zaman Mesir Kuno.
Tulisan dengan aksara
muncul sekitar 5000 tahun lalu. Orang-rang Sumeria (Irak saat ini) menciptakan tanda-tanda pada tanah liat. Tanda-tanda tersebut mewakili
bunyi, berbeda dengan huruf-huruf hieroglif yang mewakili kata-kata atau benda.
Kegiatan menulis berkembang
pesat sejak diciptakannya teknik percetakan, yang menyebabkan orang makin giat
menulis karena karya mereka mudah diterbitkan.
Secara urutan waktu maka sastra Indonesia terbagi atas beberapa
angkatan:
Angkatan
Pujangga Lama
Angkatan
Sastra Melayu Lama
Angkatan
Balai Pustaka
Angkatan
Pujangga Baru
Angkatan
1945
Angkatan
1950 - 1960-an
Angkatan
1966 - 1970-an
Angkatan
1980 - 1990-an
Angkatan
Reformasi
Angkatan
2000-an
Pujangga
Lama
Pujangga lama merupakan bentuk
pengklasifikasian karya sastra di Indonesia yang dihasilkan sebelum
abad ke-20. Pada masa ini karya satra di dominasi oleh syair, pantun, gurindam dan hikayat. Di
Nusantara, budaya Melayu klasik dengan pengaruh Islam yang kuat meliputi
sebagian besar negara pantai Sumatera dan Semenanjung Malaya. Di Sumatera
bagian utara muncul karya-karya penting berbahasa Melayu, terutama karya-karya
keagamaan. Hamzah Fansuri adalah yang pertama di antara
penulis-penulis utama angkatan Pujangga Lama. Dari istana Kesultanan
Aceh pada abad XVII muncul karya-karya klasik selanjutnya, yang paling
terkemuka adalah karya-karya Syamsuddin Pasai dan Abdurrauf
Singkil, serta Nuruddin ar-Raniri.[1]
Karya Sastra
Pujangga Lama
Sejarah
Sejarah
Melayu (Malay Annals)
Sulalatu'l-Salatin (secara harafiah bermaksud Penurunan
segala raja-raja)[1] merupakan
karya dalam Bahasa Melayu dan menggunakan Abjad Jawi. Karya tulis ini memiliki
sekurang-kurangnya 29 versi atau manuskrip yang
tersebar di antara lain di Inggris (10
di London, 1 di Manchester), Belanda (11
di Leiden, 1 di Amsterdam), Indonesia (5
diJakarta), dan 1 di Rusia (Leningrad).
Sulalatu'l-Salatin
bergaya penulisan seperti babad, di sana-sini terdapat penggambaran hiperbolik
untuk membesarkan raja dan keluarganya. Namun demikian, naskah ini dianggap
penting karena ia menggambarkan adat-istiadat kerajaan, silsilah raja dan
sejarah Kerajaan Melayu dan boleh dikatakan menyerupai konsep
Sejarah Sahih (Veritable History) Cina,
yang mencatat sejarah dinasti sebelumnya
Versi naskah
Dari semua versi naskah
yang ada, isinya bervariasi, baik pada fragmen,
ada yang panjang dan ada yang pendek, tata letak cerita berbeda, transliterasi
yang berbeda, bahkan ada versi salinan dari versi sebelumnya. Namun secara
garis besarnya, naskah-naskah tersebut dapat dikelompokan atas:[3]
1. Versi suntingan Raffles,
yang diterjemahkan pertama kali oleh John
Leyden dalam Bahasa Inggris tahun 1821.
2. Versi suntingan dari Abdullah bin
Abdulkadir Munsyi tahun
1831.
3. Versi suntingan dari Edouard
Dulaurier tahun 1849.
4. Versi terjemahan kepada Bahasa Perancis tahun 1896.
5. Versi suntingan William Shellabear tahun 1915.
6. Versi dari Raffles 18, yang dipublikasikan
oleh Richard
Olaf Winstedt tahun
1938.
7. Versi suntingan Aman Datuk Madjoindo,
dicetak di Jakarta
tahun 1959.
Perbandingan
naskah
Sulalatu'l-Salatin versi Raffles maupun
Shellabear pada dasarnya berisikan tentang klaim kekuasaan dan kompetisi dari
para penguasa diBumi Melayu,[4] menceritakan
sejarah mengenai kebangkitan, kegemilangan dan kejatuhan zaman pemerintahan
Melayu yang ditulis oleh beberapa orang pengarang Melayu.[5] Namun
uraian teks pada naskah ini belum dapat memberikan penjelasan yang tepat dan
benar, karena masih terdapat pertentangan dengan beberapa sumber primer sejarah
lainnya seperti catatan yang dibuat oleh Portugal dan Belanda. Hal ini tidak lepas dari bahwa
Sulalatu'l-Salatin telah mengalami perubahan yang dilakukan oleh beberapa
pengarang berikutnya yang kemungkinan ada menambah dan mengurangkan isi teks
pada naskah.[6]
Sulalatu'l-Salatin
memiliki beberapa variasi versi, kemungkinan versi pendek, versi yang belum
diselesaikan penulisnya atau sebaliknya versi panjang merupakan tambahan yang
dibuat oleh penulis berikutnya.[3] Namun
demikian secara keseluruhan Sulalatu'l-Salatin merupakan sebuah karya besar
yang merangkumi beberapa cerita atau kisah lain yang berkaitan dengan Dunia Melayu, sebagaimana
cerita yang terdapat pada Hikayat Raja-raja
Pasai,Hikayat Hang Tuah, Hikayat Siak dan
sebagainya.
Judul naskah
Salah satu versi yang
berkode Raffles 18,
dianggap versi yang pertama diterjemahkan (terjemahan bebas) ke dalam Bahasa Inggris dan diberi judul Malay Annals.[7] Walau
versi yang pertama kali dicetak adalah hasil suntingan Abdullah bin
Abdulkadir Munsyi di Singapura tahun
1831, kemudian disusul versi William Shellabear,[8] Namun
dari dari versi-versi yang berbahasa Inggris inilah kembali diterjemahkan, dan
lebih dikenal dengan judul Sejarah
Melayu. Sementara naskah yang diterjemahkan ke Bahasa Belanda masih tetap menggunakan judul
sebagaimana yang terdapat pada naskah. Kemudian sekitar tahun 1979,
judul Sulalatus Salatin kembali digunakan oleh Abdul
Samad Ahmad pada versi
kompilasinya, yang kemudian diikuti oleh beberapa peneliti berikutnya.[9]
Mukadimah
naskah
Pada mukadimah naskah
beberapa versi Sulalatu'l-Salatin terdapat perbedaan penafsiran untuk nama
pengarang atau penyunting naskah ini, di mana nama Tun Mambangdianggap sama dengan Tun Sri Lanang.[10] Belakangan
muncul versi yang dianggap mendekati versi aslinya namun tidak menyebutkan
siapa pengarang atau pun penyuntingnya. Versi ini berisikan beberapa potongan
cerita sebagaimana yang secara garis besar terdapat pada semua naskah
Sulalatu'l-Salatin, perbedaan versi ini terdapat pada bab tertentu yang telah
memberikan penanggalan dalam Hijriah pada
alur ceritanya,[3] walau
jika dikonfrontasi dengan sumber lainnya masih menimbulkan keraguan akan
ketepatan penanggalan tersebut. Namun dari semua versi yang ada, perintah
penyusunan naskah sama, menyebutkan atas titah Yang Dipertuan di Hilir.
Dari uraian mukadimah
naskah pada versi Raffles 18 disebutkan penyusunan
Sulalatu'l-Salatin ini adalah pada tahun 1612 oleh Bendahara. Kemudian juga
diketahui bahwa selepas penaklukan Aceh pada
masa Sultan Iskandar
Muda atas Johor tahun
1613, Sultan Johor kemudian ditawan dan dibawa ke Aceh.
Pada salah satu bab dari Bustanus Salatin,Nuruddin al-Raniri menyebutkan bahwa Bendahara Paduka Raja yang
mengarang Sulalatu'l-Salatin merupakan
salah satu sumber rujukankannya.
Isi
naskah
Sulalatu'l Salatin
menguraikan silsilah dari para raja di kawasan Melayu, bermula dari kedatangan Sang Sapurba keturunan Iskandar Zulkarnain,
kemudian Sang Sapurba menjadiMaharajadiraja di Minangkabau, dan dari tokoh ini raja-raja di
kawasan Melayu diturunkan. Selanjutnya terdapat kisah salah seorang putra Sang
Sapurba dari perkawinannya dengan Wan Sundaria, putri Demang
Lebar Daun, penguasa Palembang, yang bernama Sang Nila Utama bergelar Sri Tri Buana mendirikan Singapura dan
putranya yang lain,Sang
Mutiara disebutkan
menjadi raja di Tanjungpura. Sementara gelar Sang Nila Utama
tersebut mirip dengan gelar Srimat
Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa dalam Prasasti Padang Roco yang bertarikh 1286, merupakan Maharaja di Bumi
Melayu yang mendapat kiriman
hadiah Arca Amoghapasa dari Kertanagara Maharajadiraja Singhasari.[11]Kemudian pada tahun 1347, Adityawarman menambah
pahatan aksara pada bagian belakang Arca Amoghapasa tersebut, dan menyebutkan memulihkan kerajaan sebelumnyakemudian
dinamainya Malayapura, serta ia sendiri menyandang gelar maharajadiraja.[12]
Sulalatu'l Salatin juga
menceritakan tentang ekspansi Jawa di kawasan Melayu serta juga
menyebutkan tentang sepeninggal Raja Majapahit, kemudian kedudukannya digantikan
oleh anak perempuannya atas sokongan patihnya. Ratu Majapahit ini disebutkan
menikah dengan putra Raja Tanjungpura.
Hal ini jika dibandingkan dengan naskah JawaDesawarnana dan Pararaton,[13][14] yang
menceritakan tentang pergantian Raja Majapahit Jayanagara kepada
saudara perempuannya Tribhuwana
Wijayatunggadewi yang
disokong oleh Gajah Mada. Ratu Majapahit ini kemudian
menikah dengan Cakradhara bergelar Kertawardhana Bhre Tumapel, dan
nantinya melahirkan Hayam Wuruk. BerdasarkanPrasasti
Wingun Pitu terdapat Bhre Tanjungpura sebagai salah satu batara yang memerintah di salah satu daerah
bawahan pemerintahan Majapahit. Prasasti ini bertarikh 1447, kemungkinan pada
akhir pemerintahan Ratu Suhita, dalam Pararaton Ratu
Majapahit ini disebutkan menikah dengan Bhra
Hyang Parameswara.
Secara rinci Sulalatu'l
Salatin memberikan urutan nama-nama raja di Malaka, kemudian terdapat berita kedatangan Afonso de Albuquerque dari Goa atas perintah Raja
Portugaluntuk menaklukan Malaka tahun 1511 pada masa Sultan Mahmud Syah.
Perang melawan penaklukan Portugal ini
membuat Sultan Malaka terpaksa berpindah pindah, mulai dariBintan terus
ke Kampar, kemudian ke Johor.
Berdasarkan kronik Cina masa Dinasti Ming disebutkan
pendiri Malaka adalah Pai-li-mi-su-la (Parameswara) yang mengunjungi Kaisar Cina tahun
1405 dan 1409, namun nama tersebut tidak dijumpai pada semua versi
Sulalatu'l-Salatin, tetapi nama ini kemudian dirujuk kepada Raja Iskandar Syah.[15] Kontroversi
identifikasi tokoh ini masih diperdebatkan sampai sekarang.
Penyampaian alur cerita
pada Sulalatu'l-Salatin tidak lepas dari pengaruh politik yang
berkuasa pada setiap masa penulisannya, karena ada alur cerita yang tidak semua
versi menyebutnya. Sisipan cerita tambahan tersebut mungkin sebagai legitimasi
bagi penguasa-penguasa berikutnya di kawasan Melayu. Hal ini terlihat pada Bustanus Salatin, pada salah satu pasalnya
terdapat silsilah keturunan Sultan Aceh yang
nasabnya dirujuk sampai kepada raja Melayu dari Bukit Siguntang.
Kemudian ada pula sisipan
cerita pengiriman utusan ke Makassar, yang kemudian pulang bersama seorang
bangsawan Bugis yang hebat dan kemudian dikenal dengan
namaHang Tuah. Sementara dari versi lain Hang Tuah
disebutkan hanyalah seorang nelayan dari Bintan namun
memiliki kemahiran dalam silat,
kemudian diangkat menjadi laksamanadan
berperan dalam menjaga Malaka dari
ancaman luar. Sementara kisah kunjungan utusan Raja Malaka kepada Raja Goa di Sulawesi tidak
dijumpai pada versi Raffles, Abdullah, Dulaurier, Shellabear, Winstedt,
Madjoindo dan lainnya. Kisah tersebut hanya terdapat pada naskah yang disebut
ada di Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia saja.[10]Kemungkinan munculnya kisah ini
sangat berkaitan dengan cerita sebagaimana yang terdapat pada Tuhfat al-Nafis.
Sulalatu'l Salatin
mengambarkan keterkaitan masing masing kawasan di nusantara. Kisah kedatangan Islam di Pasai memberikan gambaran tentang awal
dakwah Islam di kawasan Melayu. Kemudian dilanjutkan dengan cerita hubungan
perkawinan antara putri Raja Pasai dengan Raja Malaka, yang menandakan Islam juga
telah tersebar ke Malaka. Hubungan Pasai dan Malaka ini terus berlanjut dimana
pada masa berikutnya Sultan Malaka disebutkan turut membantu memadamkan
pemberontakan yang terjadi di Pasai. Laporan Ma Huan pembantu Cheng Ho menyebutkan
bahwa adat istiadat seperti bahasa, maupun tradisi pada upacara kelahiran, perkawinan
dan kematian yang digunakan masyarakat Pasai dan Malaka adalah sama.[16]
]Bab penutup
Dari semua variasi naskah
Sulalatu'l-Salatin, umumnya diakhiri oleh bab yang berisikan tentang kematian Tun Ali Hati. Namun ada juga
yang diakhiri oleh cerita serangan Jambi keJohor (1673),
kemudian ada juga sebagaimana yang terdapat pada Hikayat
Raja Akil (Sultan Sukadana) yang diakhiri oleh Perang Palembang (1819-1821).
Penulisan naskah
Sulalatu'l Salatin
merupakan naskah tulis tangan yang ditulis
pada kertas
mengguna- kan
Abjad Jawi. Karya ini kemungkinan pertama kali
ditulis sekitar abad ke-16. Dalam Sulalatu'l Salatin diceritakan
bingkisan kiriman Batara
Majapahit digambarkan
nipisnya seperti kertas. Kemudian disebutkan juga kisah Hang
Nadim berkunjung ke India dan memesan kain sebagaimana sketsa
yang telah ditulis sebelumnya pada kertas. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat
pada kawasan Melayu telah mengenal pengunaan kertas sebagai alat tulis dalam
kehidupannya.
Rujukan
4.
^ Wolters, O. W.,
(1999), History, culture, and region in Southeast Asian perspectives,
SEAP Publications, ISBN 0877277257.
5.
^ Pensejarahan
Melayu: kajian tentang tradisi sejarah Melayu Nusantara "...ada Hikayat
Melayu dibawa oleh orang dari Goa...."
7.
^ Raffles, T.S., (1821), Malay annals (translated from the
Malay language, by the late Dr. John Leyden).
12.
^ Kern, J.H.C., (1907), De wij-inscriptie op het
Amoghapāça-beeld van Padang
Candi(Batang Hari-districten); 1269 Çaka,
Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde.
13.
^ Brandes, J. L. A.,
(1904), Nāgarakrĕtāgama: lofdicht van Prapanjtja op koning Rasadjanagara,
Hajam Wuruk, van Madjapahit, Albrecht.
14.
^ Brandes, J. L. A.,
(1896), Pararaton: Ken Arok of het boek der koningen van Tumapěl en van
Majapahit, Albrecht & Rusche
15.
^ Wake, Christopher H.,
(1964), Malacca's Early Kings and the Reception of Islam,
Journal of Southeast Asian History 5, No. 2, pp. 104-128.
16.
^ Yuanzhi Kong, (2000), Muslim Tionghoa Cheng Ho:
misteri perjalanan muhibah di Nusantara,
Yayasan Obor Indonesia , ISBN 9794613614.
Hikayat
Hikayat
Aceh
Hikayat
Amir Hamzah
Hikayat
Andaken Penurat
Hikayat
Djahidin
Hikayat
Kadirun
|
Hikayat
Masydulhak
Hikayat
Pandawa Jaya
Hikayat
Putri Djohar Manikam
Hikayat
Sri Rama
Hikayat
Tjendera Hasan
Tsahibul
Hikayat
|
Syair
Syair
Raja Mambang Jauhari
Syair
Raja Siak
Kitab agama
Syarab al-'Asyiqin (Minuman Para Pecinta) oleh Hamzah Fansuri
Asrar al-'Arifin (Rahasia-rahasia para Gnostik) oleh Hamzah Fansuri
Nur ad-Daqa'iq
(Cahaya pada kehalusan-kehalusan) oleh Syamsuddin Pasai
Bustan as-Salatin (Taman raja-raja) oleh Nuruddin
ar-Raniri
Sastra
Melayu Lama
Karya sastra di Indonesia yang
dihasilkan antara tahun 1870 - 1942, yang berkembang dilingkungan masyarakat
Sumatera seperti "Langkat, Tapanuli, Minangkabau dan daerah Sumatera lainnya", orang
Tionghoa dan masyarakat Indo-Eropa. Karya sastra pertama yang terbit sekitar tahun
1870 masih dalam bentuk syair, hikayat dan terjemahan novel barat.
Karya Sastra Melayu Lama
Robinson Crusoe (terjemahan)
Lawan-lawan Merah
Mengelilingi Bumi dalam 80 hari
(terjemahan)
Graaf de Monte Cristo (terjemahan)
Kapten Flamberger (terjemahan)
Rocambole (terjemahan)
Nyai
Dasima oleh G. Francis (Indo)
Bunga
Rampai oleh A.F van Dewall
Kisah Perjalanan Nakhoda Bontekoe
Kisah Pelayaran ke Pulau Kalimantan
Kisah Pelayaran ke
Cerita Siti Aisyah oleh H.F.R
Kommer (Indo)
Cerita Nyi Paina
Cerita Nyonya Kong Hong Nio
Nona Leonie
|
Warna Sari Melayu oleh Kat S.J
Cerita Si Conat oleh F.D.J.
Pangemanan
Cerita Rossina
Nyai Isah oleh F. Wiggers
Drama Raden Bei Surioretno
Syair Java Bank Dirampok
Lo Fen Kui oleh Gouw Peng Liang
Cerita Oey See oleh Thio Tjin Boen
Busono oleh R.M.Tirto Adhi Soerjo
Nyai Permana
Hikayat Siti Mariah oleh Hadji Moekti (indo)
dan masih ada sekitar 3000 judul
karya sastra Melayu-Lama lainnya
|
Angkatan
Balai Pustaka
Angkatan Balai Pusataka merupakan
karya sastra di Indonesia
yang terbit sejak tahun 1920, yang dikeluarkan oleh penerbit Balai
Pustaka. Prosa
(roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai
menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah
sastra di Indonesia
pada masa ini.
Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah
pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu
Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki
misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu
bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa
Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali,
bahasa
Batak, dan bahasa Madura.
Nur Sutan Iskandar dapat disebut sebagai
"Raja Angkatan Balai Pustaka" oleh sebab banyak karya tulisnya pada
masa tersebut. Apabila dilihat daerah asal kelahiran para pengarang, dapatlah
dikatakan bahwa novel-novel Indonesia yang terbit pada angkatan ini adalah
"novel Sumatera", dengan Minangkabau
sebagai titik pusatnya.[2]
[sunting] Penulis dan
Karya Sastra Angkatan Balai Pustaka
Azab
dan Sengsara (1920)
Binasa kerna Gadis Priangan (1931)
Siti
Nurbaya (1922)
La Hami
(1924)
Anak
dan Kemenakan (1956)
Tanah
Air (1922)
Indonesia, Tumpah Darahku (1928)
Ken Arok dan Ken Dedes (1934)
Cinta yang Membawa Maut (1926)
Salah
Pilih (1928)
Karena
Mentua (1932)
Tuba Dibalas dengan Susu (1933)
Hulubalang
Raja (1934)
Katak Hendak Menjadi Lembu (1935)
|
Tak
Disangka (1923)
Sengsara Membawa Nikmat (1928)
Tak
Membalas Guna (1932)
Memutuskan Pertalian (1932)
Darah
Muda (1927)
Asmara
Jaya (1928)
Pertemuan
(1927)
Salah
Asuhan (1928)
Pertemuan
Djodoh (1933)
Menebus
Dosa (1932)
Si Cebol Rindukan Bulan (1934)
Sampaikan Salamku Kepadanya (1935)
|
Pujangga
Baru
Pujangga Baru muncul sebagai reaksi
atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan
pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa
nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra
intelektual, nasionalistik dan elitis.
Pada masa itu, terbit pula majalah Pujangga
Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, beserta Amir Hamzah
dan Armijn
Pane. Karya sastra di Indonesia
setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930 - 1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana dkk. Masa ini ada
dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu :
1.
Kelompok
"Seni untuk Seni" yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir
Hamzah
2.
Kelompok
"Seni untuk Pembangunan Masyarakat" yang dimotori oleh Sutan Takdir
Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi.
Penulis dan
Karya Sastra Pujangga Baru
Dian Tak Kunjung Padam (1932)
Tebaran
Mega - kumpulan sajak (1935)
Layar
Terkembang (1936)
Di Bawah Lindungan Ka'bah (1938)
Tuan
Direktur (1950)
Didalam Lembah Kehidoepan (1940)
Belenggu
(1940)
Gamelan
Djiwa - kumpulan sajak (1960)
Djinak-djinak Merpati - sandiwara (1950)
Kisah Antara Manusia - kumpulan cerpen (1953)
Pancaran
Cinta (1926)
Puspa
Mega (1927)
Madah
Kelana (1931)
Sandhyakala Ning Majapahit (1933)
Kertajaya
(1932)
Nyanyi
Sunyi (1937)
Begawat
Gita (1933)
Setanggi
Timur (1939)
|
Kalau
Tak Untung (1933)
Pengaruh
Keadaan (1937)
Ni Rawit Ceti Penjual Orang (1935)
Sukreni
Gadis Bali (1936)
I Swasta Setahun di Bedahulu (1938)
Rindoe
Dendam (1934)
Kehilangan
Mestika (1935)
Karena Kerendahan Boedi (1941)
Palawija
(1944)
|
Angkatan
1945
Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya
telah mewarnai karya sastrawan Angkatan '45. Karya sastra angkatan ini lebih
realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru yang romantik - idealistik.
Karya-karya sastra pada angkatan ini banyak bercerita tentang perjuangan
merebut kemerdekaan seperti halnya puisi-puisi Chairil
Anwar. Sastrawan angkatan '45 memiliki konsep seni yang diberi judul
"Surat Kepercayaan Gelanggang". Konsep ini menyatakan bahwa para sastrawan
angkatan '45 ingin bebas berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani.
Penulis dan
Karya Sastra Angkatan 1945
Kerikil
Tajam (1949)
Deru
Campur Debu (1949)
Asrul Sani,
bersama Rivai
Apin dan Chairil Anwar
Tiga
Menguak Takdir (1950)
Aki
(1949)
Atheis
(1949)
Katahati dan Perbuatan (1952)
Suling
(drama) (1948)
Tambera
(1949)
Awal
dan Mira - drama satu babak (1962)
Kasih
Ta' Terlarai (1961)
Pertjobaan
Setia (1940)
Angkatan
1950 - 1960-an
Angkatan 50-an ditandai dengan
terbitnya majalah sastra Kisah
asuhan H.B.
Jassin. Ciri angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi dengan cerita
pendek dan kumpulan puisi. Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956 dan
diteruskan dengan majalah sastra lainnya, Sastra.
Pada angkatan ini muncul gerakan
komunis dikalangan sastrawan, yang bergabung dalam Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) yang
berkonsep sastra realisme-sosialis.
Timbullah perpecahan dan polemik yang berkepanjangan diantara kalangan
sastrawan di Indonesia pada awal tahun 1960; menyebabkan
mandegnya perkembangan sastra karena masuk kedalam politik praktis dan berakhir
pada tahun 1965
dengan pecahnya G30S
di Indonesia.
Penulis dan
Karya Sastra Angkatan 1950 - 1960-an
Angkatan
1966 - 1970-an
Angkatan ini ditandai dengan
terbitnya Horison (majalah sastra) pimpinan Mochtar
Lubis.[3]
Semangat avant-garde sangat menonjol pada angkatan ini. Banyak karya
sastra pada angkatan ini yang sangat beragam dalam aliran sastra dengan
munculnya karya sastra beraliran surealistik, arus kesadaran, arketip, dan
absurd. Penerbit Pustaka
Jaya sangat banyak membantu dalam menerbitkan karya-karya sastra
pada masa ini. Sastrawan pada angkatan 1950-an yang juga termasuk dalam
kelompok ini adalah Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil
Suherman, Bur
Rasuanto, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono dan Satyagraha Hoerip Soeprobo dan termasuk paus
sastra Indonesia, H.B. Jassin.
Beberapa satrawan pada angkatan ini antara lain: Umar Kayam,
Ikranegara,
Leon
Agusta, Arifin C. Noer, Darmanto
Jatman, Arief Budiman, Goenawan
Mohamad, Budi
Darma, Hamsad Rangkuti, Putu Wijaya,
Wisran
Hadi, Wing
Kardjo, Taufik Ismail dan banyak lagi yang lainnya.
Penulis dan
Karya Sastra Angkatan 1966
Meditasi (1976)
Tergantung Pada Angin (1977)
Dukamu
Abadi (1969)
Mata
Pisau (1974)
Parikesit
(1969)
Interlude
(1971)
Seks, Sastra, dan Kita (1980)
Hilanglah si Anak Hilang (1963)
Bila Malam Bertambah Malam (1971)
Telegram
(1973)
Stasiun
(1977)
|
Perjalanan ke Akhirat (1962)
Manifestasi
(1963)
Dia, Hotel, Surat Keputusan (1963)
Lesbian
(1976)
Bukan
Rumahku (1976)
Pelabuhan
Hati (1978)
Pelabuhan
Hati (1978)
Monumen
Safari (1966)
Catatan
Putih (1975)
Hukla
(1979)
Ziarah
(1968)
Kering
(1972)
Merahnya
Merah (1968)
Keong
(1975)
Masa
Bergolak (1968)
Ibu
(1969)
Warisan
(1979)
Khotbah di Atas Bukit (1976)
Lingkaran-lingkaran Retak (1978)
Dari
Hari ke Hari (1975)
Pergolakan
(1974)
Perjanjian dengan Maut (1976)
Dan
Perang Pun Usai (1979)
Jalan
Lurus
|
Angkatan
1980 - 1990-an
Karya sastra di Indonesia pada kurun waktu setelah
tahun 1980, ditandai
dengan banyaknya roman percintaan, dengan sastrawan wanita yang menonjol pada
masa tersebut yaitu Marga T. Karya sastra Indonesia pada masa angkatan ini
tersebar luas diberbagai majalah dan penerbitan umum.
Beberapa sastrawan yang dapat
mewakili angkatan dekade 1980-an ini antara lain adalah: Remy Sylado,
Yudistira Ardinugraha, Noorca Mahendra, Seno Gumira Ajidarma, Pipiet Senja,
Kurniawan Junaidi, Ahmad Fahrawie, Micky Hidayat, Arifin Noor Hasby, Tarman
Effendi Tarsyad, Noor Aini Cahya Khairani, dan Tajuddin Noor Ganie.
Nh. Dini (Nurhayati Dini) adalah
sastrawan wanita Indonesia lain yang menonjol pada dekade 1980-an dengan
beberapa karyanya antara lain: Pada Sebuah Kapal, Namaku Hiroko, La
Barka, Pertemuan Dua Hati, dan Hati Yang Damai. Salah satu
ciri khas yang menonjol pada novel-novel yang ditulisnya adalah kuatnya
pengaruh dari budaya barat, di mana tokoh utama biasanya mempunyai konflik
dengan pemikiran timur.
Mira W dan Marga T adalah dua
sastrawan wanita Indonesia
yang menonjol dengan fiksi romantis yang menjadi ciri-ciri novel mereka. Pada
umumnya, tokoh utama dalam novel mereka adalah wanita. Bertolak belakang dengan
novel-novel Balai Pustaka yang masih dipengaruhi oleh sastra Eropa abad ke-19
dimana tokoh utama selalu dimatikan untuk menonjolkan rasa romantisme dan
idealisme, karya-karya pada era 1980-an biasanya selalu mengalahkan peran
antagonisnya.
Namun yang tak boleh dilupakan, pada
era 1980-an ini juga tumbuh sastra yang beraliran pop, yaitu lahirnya sejumlah
novel populer yang dipelopori oleh Hilman
Hariwijaya dengan serial Lupusnya. Justru dari kemasan yang ngepop
inilah diyakini tumbuh generasi gemar baca yang kemudian tertarik membaca
karya-karya yang lebih berat.
Ada nama-nama terkenal muncul dari komunitas Wanita Penulis
Indonesia yang dikomandani Titie Said, antara lain: La Rose,
Lastri
Fardhani, Diah
Hadaning, Yvonne
de Fretes, dan Oka
Rusmini.
Penulis dan
Karya Sastra Angkatan 1980
Ladang
Hijau (1980)
Sajak
Penari (1990)
Sebelum Tertawa Dilarang (1997)
Fragmen-fragmen Kekalahan (1997)
Sembahyang
Rumputan (1997)
Burung-burung Manyar (1981)
Bako
(1983)
Dendang
(1988)
Olenka
(1983)
Rafilus
(1988)
Anak Bajang Menggiring Angin (1984)
Canting (1986)
|
Lupus - 28 novel (1986-2007)
Lupus
Kecil - 13 novel (1989-2003)
Olga
Sepatu Roda (1992)
Lupus
ABG - 11 novel (1995-2005)
Nyanyian
Gaduh (1987)
Matahari yang Mengalir (1990)
Kepompong
Sunyi (1993)
Nikah
Ilalang (1995)
Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999)
Segi Empat Patah Sisi (1990)
Segi Tiga Lepas Kaki (1991)
Ben
(1992)
Ca Bau Kan
(1999)
Kerudung Merah Kirmizi (2002)
|
Angkatan
Reformasi
Seiring terjadinya pergeseran
kekuasaan politik dari tangan Soeharto ke BJ Habibie lalu KH
Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Sukarnoputri, muncul wacana tentang
"Sastrawan Angkatan Reformasi". Munculnya angkatan ini ditandai
dengan maraknya karya-karya sastra, puisi, cerpen, maupun novel, yang bertema
sosial-politik, khususnya seputar reformasi. Di rubrik sastra harian Republika
misalnya, selama berbulan-bulan dibuka rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau
sajak-sajak reformasi. Berbagai pentas pembacaan sajak dan penerbitan buku
antologi puisi juga didominasi sajak-sajak bertema sosial-politik.
Sastrawan Angkatan Reformasi
merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada akhir tahun 1990-an,
seiring dengan jatuhnya Orde Baru. Proses reformasi politik yang dimulai pada
tahun 1998 banyak melatarbelakangi kelahiran karya-karya sastra -- puisi,
cerpen, dan novel -- pada saat itu. Bahkan, penyair-penyair yang semula jauh
dari tema-tema sosial politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda, Acep
Zamzam Noer, dan Hartono
Benny Hidayat, juga ikut meramaikan suasana dengan sajak-sajak
sosial-politik mereka.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan
Reformasi
Angkatan
2000-an
Setelah wacana tentang lahirnya
sastrawan Angkatan Reformasi muncul, namun tidak berhasil dikukuhkan karena
tidak memiliki juru bicara, Korrie
Layun Rampan pada tahun 2002 melempar wacana tentang lahirnya
"Sastrawan Angkatan 2000". Sebuah buku tebal tentang Angkatan 2000
yang disusunnya diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta
pada tahun 2002. Seratus lebih penyair, cerpenis, novelis, eseis, dan kritikus
sastra dimasukkan Korrie ke dalam Angkatan 2000, termasuk mereka yang sudah
mulai menulis sejak 1980-an, seperti Afrizal
Malna, Ahmadun Yosi Herfanda dan Seno Gumira Ajidarma, serta yang muncul pada
akhir 1990-an, seperti Ayu Utami dan Dorothea Rosa Herliany.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan
2000
Saman
(1998)
Larung (2001)
Supernova
2.1: Akar (2002)
Supernova
2.2: Petir (2004)
Ayat-Ayat
Cinta (2004)
Diatas
Sajadah Cinta (2004)
Ketika Cinta Berbuah Surga (2005)
Pudarnya Pesona Cleopatra (2005)
Ketika Cinta Bertasbih 1 (2007)
Ketika Cinta Bertasbih 2 (2007)
Dalam
Mihrab Cinta (2007)
Laskar
Pelangi (2005)
Sang
Pemimpi (2006)
Edensor (2007)
Maryamah
Karpov (2008)
Cybersastra
Era internet
memasuki komunitas sastra di Indonesia .
Banyak karya sastra Indonesia
yang tidak dipublikasi berupa buku namun termaktub di dunia maya (Internet),
baik yang dikelola resmi oleh pemerintah, organisasi non-profit, maupun situs
pribadi. Ada beberapa situs Sastra Indonesia
di dunia maya.
Pranala luar
http://www.sumpahpalapa.com/ (lihat
link sastra)
Referensi
2. ^ Mahayana, Maman S, Oyon Sofyan (1991). Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern. Jakarta : Grasindo.
Danau & Waduk ·
Fauna ·
Flora · Gunung · Gunung berapi · Pegunungan · Pulau · Sungai · Taman nasional · Terumbu karang · Selat
|
|
Pemerintah · Presiden · Kementerian · MPR · DPR · DPD · MA · MK · BPK · Perwakilan di luar
negeri · Kepolisian · Militer · Lembaga pemerintahan ·
Administratif · Provinsi · Kabupaten/Kota · Hubungan luar negeri ·
Hukum ·
Pemilu · Partai politik
|
|
Perusahaan · Pariwisata · Transportasi · Pasar modal · Bank · BUMN · BEI
|
|
Suku · Bahasa · Agama · Nama
Indonesia
|
|
Arsitektur ·
Seni · Film · Makanan · Tari · Mitologi · Pendidikan · Sastra · Media · Musik · Hari penting · Olahraga · Busana daerah
|
|
Topik lainnya
|
|
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra_Indonesia"
No comments:
Post a Comment