Friday, November 29, 2013

Ketenangan Hati

1.                  Yakinlah Allah selalu besama kita
2.                 Slalu ingat orang tua tetap yang terbaik
3.                Slalu mengerti aturan / tahu diri
4.                Hindari kepura-puraan
5.                Jalani hidup dengan semangat
6.                Jalani hidup tanpa pamrih
7.                Slalu berfikir positif
8.                Hindari berburuk sangka
9.                Jangan tergantung dengan orang lain
10.           Mudah memaafkan
11.             Tidak membedakan teman
12.            Menghormati dan menghargai sesama
13.           Jangan pendendam
14.           Kerjakan tugas tepat waktu
15.           Berfikirlah tidak hanya 1 kali
16.           Slalu mempertimbangkan
17.           Tidak mengawatirkan hari esok
18.           Tidak mengumbar janji
19.           Membatasi pembicaraan yang tidak penting
20.          Memanfaatkan kemampuan
21.            Berusaha yang terbaik
22.           Menganggap kegagalan awal dari keberhasilan


Sunday, November 24, 2013


Sanusi Pane, sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru. Pria kelahiran Muara Sipongi, Sumatera Utara, 14 November 1905, ini juga berprofesi sebagai guru dan redaktur majalah dan surat kabar. Ia juga aktif dalam dunia pergerakan politik,  seorang nasionalis yang ikut menggagas berdirinya “Jong Bataks Bond.” Karya-karyanya banyak diterbitkan pada 1920 -1940-an. Meninggal di Jakarta, 2 Januari 1968. 

Bakat seni mengalir dari ayahnya Sutan Pengurabaan Pane, seorang guru dan seniman Batak Mandailing di Muara Sipongi, Mandailing Natal. Mereka delapan bersaudara, dan semuanya terdidik dengan baik oleh orang tuanya. Di antara saudaranya yang juga menjadi tokoh nasional,adalah Armijn Pane (sastrawan), dan Lafran Pane salah (seorang pendiri organisasi pemuda Himpunan Mahasiswa Islam). 
Sanusi Pane menempuh pendidikan formal HIS dan ElS di Padang Sidempuan, Tanjungbalai, dan Sibolga, Sumatera Utara. Lalu melanjut ke MULO di Padang dan Jakarta, tamat 1922. Kemudian tamat dari Kweekschool (Sekolah Guru) Gunung Sahari, Jakarta, tahun 1925. Setelah tamat, ia diminta mengajar di sekolah itu juga sebelum dipindahkan ke Lembang dan jadi HIK. Setelah itu, ia mendapat kesempatan melanjut kuliah Othnologi di Rechtshogeschool. Setelah itu, pada 1929-1930, ia mengunjungi India. Kunjungan ke India ini sangat mewarnai pandangan kesusasteraannya. Sepulang dari India, selain aktif sebagai guru, ia juga aktif jadi redaksi majalah TIMBUL (berbahasa Belanda, lalu punya lampiran bahasa Indonesia). Ia banyak menulis karangan-karangan kesusastraan, filsafat dan politik. 
Selain itu, ia juga aktif dalam dunia politik. Ikut menggagas dan aktif di “Jong Bataks Bond.” Kemudian menjadi anggota PNI. Akibat keanggotannya di PNI, ia dipecat sebagai guru pada 1934. Namun sastrawan nasionalis ini tak patah arang. Ia malah menjadi pemimpin sekolah-sekolah Perguruan Rakyat di Bandung dan menjadi guru pada sekolah menengah Perguruan Rakyat di Jakarta. Kemudian tahun 1936, ia menjadi pemimpin surat kabar Tionghoa-Melayu KEBANGUNAN di Jakarta. Lalu tahun 1941, menjadi redaktur Balai Pustaka.
Sanusi Pane sastrawan pujangga baru yang fenomenal. Dalam banyak hal berbeda (antipode) dari Sutan Takdir Alisjahbana. Jika STA menghendaki coretan yang hitam dan tebal dibawah pra-Indonesia, yang dianggapnya telah menyebabkan bangsa Indonesia telah menjadi nista, Sanusi malah berpandangan sebaliknya, mencari ke jaman Indonesia purba dan ke arah nirwana kebudayaan Hindu-Budha. Sanusi mencari inspirasi pada kejayaan budaya Hindu-Budha di Indonesia pada masa lampau. Perkembangan filsafat hidupnya sampai pada sintesa Timur dan Barat, persatuan rohani dan jasmani, akhirat dan dunia, idealisme dan materialisme. Puncak periode ini ialah dramanya Manusia Baru yang diterbitkan oleh Balai Pustaka di tahun 1940.
Karya-karyanya yang terkenal diantaranya: Pancaran Cinta dan Prosa Berirama (1926), Puspa Mega dan Kumpulan Sajak (1927), Airlangga, drama dalam bahasa Belanda, (1928), Eenzame Caroedalueht, drama dalam bahasa Belanda (1929), Madah Kelana dan kumpulan sajak yang diterbitkan oleh Balai Pustaka (1931), naskah drama Kertajaya (1932), naskah drama Sandhyakala Ning Majapahit (1933), naskah drama Manusia Baru yang diterbitkan oleh Balai Pustaka (1940). Selain itu, ia juga menerjemahkan dari bahasa Jawa kuno kekawin Mpu Kanwa dan Arjuna Wiwaha yang diterbitkan oleh Balai Pustaka (1940). - See more at: http://gudang-biografi.blogspot.com/2010/01/biografi-sanusi-pane.html#sthash.kSMSMwaP.dpuf

Jiwa nasionalismenya terlihat antara lain dari pernyataan Sanusi Pane tentang akan dibentuknya perhimpunan pemuda-pemuda Batak yang kemudian disepakati bernama “Jong Bataks Bond.” Ia menyatakan: “Tiada satu pun di antara kedua pihak berhak mencaci maki pihak lainnya oleh karena dengan demikian berarti bahwa kita menghormati jiwa suatu bangsa yang sedang menunjukkan sikapnya.” (Dikutip dari Nationalisme, Jong Batak, Januari, 1926). - See more at: http://gudang-biografi.blogspot.com/2010/01/biografi-sanusi-pane.html#sthash.kSMSMwaP.dpuf

Biodata Sanusi Pane Nama: Sanusi Pane Lahir: Muara Sipongi, Tapanuli, Sumatera Utara, 14 November 1905 Meninggal: Jakarta, 2 Januari 1968 Pendidikan: - HIS dan ELS Padang Sidempuan, Tanjungbalai, Sibolga, - MULO Padang dan Jakarta (1922), - Kweekschool, Gubung Sahari, Jakarta (1925), - Rechtshogeschool bagian Othonlogi Karier: - Guru, - Redaktur majalah Timbul (1929-1930), - Pemimpin surat kabar Kebangunan (1936-1941), - Redaktur Balai Pustaka (1941) Karya Tulis: - Pancaran Cinta (1926), - Prosa Berirama (1926), - Puspa Mega (1927) - Kumpulan Sajak (1927), - Airlangga (drama berbahasa Belanda, 1928) - Eenzame Caroedalueht (drama berbahasa Belanda, 1929) - Madah Kelana (1931) - Kertajaya (drama, 1932) - Sandhyakala Ning Majapahit (drama, 1933) - Manusia Baru (drama, 1940) - Kakawin Arjuna Wiwaha (karya Mpu Kanwa, terjemahan bahasa Jawa Kuna, 1940) Referensi: tokohindonesi.com 

Dalam sajaknya, Sanusi Pane menganggap dirinya sebagai orang yang berlagu di tepi pantai, menyanyikan cintanya yang tulus, baik terhadap kekasih maupun terhadap tanah airnya, meskipun dalam beberapa sajak nada murunglah yang kita jumpai. Dalam sajaknya yang pertama, ‘Puspa Mega’ ia mengajak kita memasang telinga kepadanya:
Dengar laguku di tepi pantai
Diayun gelombang cinta kalbu,
Dari kata kuatur rantai,
Mengebat engkau pada jiwaku.
Sikapnya yang akan membuat rantai kata-kata itu sesuai dengan pendiriannya mengenai puisi seperti yang dapat kita baca dalam sajaknya yang berjudul ‘Sajak’. Meski kemudian pendiriannya itu dibatalkan dalam Madah Kelana oleh sajaknya yang juga berjudul ‘Sajak’, namun untuk menilai Puspa Mega ini, pendiriannya itu patut kita perhatikan:

Sajak

Di mana harga karangan sajak,
Bukan dalam maksud isinya,
Dalam bentuk, kata nan rancak
Dicari timbang dengan pilihnya.
 Tanya pertama keluar di hati,
Setelah sajak dibaca tamat,
Sehingga mana tersebut sakti,
Mengikat diri di dalam hikmat.
Rasa bujangga waktu menyusun
Kata yang datang berduyun-duyun
Dari dalam bukan nan dicari
Harus kembali dalam pembaca,
Sebagai bayang di muka kaca.
Harus bergoncang hati nurani.
Dengan pendirian seperti itu ia bersajak tentang kehidupan yang umum dialami oleh seorang remaja yang diamuk romantik. Ia memimpikan kekasihnya berada di sampingnya agar ia bisa bernyanyi memuji keindahan alam serta kecantikannya (Puspa Mega). Pabila melihat merpati berkasih-kasihan di perabung setiap rumah, iapun memimpikan dirinya bergelut dengan kekasihnya (Sebagai Merpati). Pendeknya seorang remaja yang mengalami suka-duka percintaan pertama.


(lahir di Rengat, Indragiri Hulu, 24 Juni 1941; umur 72 tahun) adalah pujangga Indonesia terkemuka. Setelah lulus SMASutardji Calzoum Bachri melanjutkan studinya ke Fakultas Sosial Politik Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran, Bandung. Pada mulanya Sutardji Calzoum Bachri mulai menulis dalam surat kabar dan mingguan di Bandung, kemudian sajak-sajaknyai dimuat dalam majalahHorison dan Budaya Jaya serta ruang kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana.
Dari sajak-sajaknya itu Sutardji memperlihatkan dirinya sebagai pembaharu perpuisian Indonesia. Terutama karena konsepsinya tentang kata yang hendak dibebaskan dari kungkungan pengertian dan dikembalikannya pada fungsi kata seperti dalam mantra.
Pada musim panas 1974, Sutardji Calzoum Bachri mengikuti Poetry Reading International di Rotterdam. Kemudian ia mengikuti seminar International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat dari Oktober 1974 sampai April 1975. Sutardji juga memperkenalkan cara baru yang unik dan memikat dalam pembacaan puisi di Indonesia.
Sejumlah sajaknya telah diterjemahkan Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan dalam antologi Arjuna in Meditation (Calcutta, India),Writing from the World (Amerika Serikat), Westerly Review (Australia) dan dalam dua antologi berbahasa Belanda: Dichters in Rotterdam(Rotterdamse Kunststichting, 1975) dan Ik wil nog duizend jaar leven, negen moderne Indonesische dichters (1979). Pada tahun 1979, Sutardji dianugerah hadiah South East Asia Writer Awards atas prestasinya dalam sastra di Bangkok, Thailand.

O Amuk Kapak merupakan penerbitan yang lengkap sajak-sajak Calzoum Bachri dari periode penulisan 1966 sampai 1979. Tiga kumpulan sajak itu mencerminkan secara jelas pembaharuan yang dilakukannya terhadap puisi Indonesia modern.


16
Pria kelahiran 24 Juni 1941 ini digelari ‘presiden penyair Indonesia’. Menurut para seniman di Riau, kemampuan Soetardji laksana rajawali di langit, paus di laut yang bergelombang, kucing yang mencabik-cabik dalam dunia sastra Indonesia yang sempat membeku dan membisu setelah Chairil Anwar pergi.
Dia telah meraih sejumlah pengharaan atas karya-karya sastranya. Antara lain Hadiah Sastra ASEAN (1979), Hadiah Seni (1993), Anugerah Sastra Chairil Anwar (1998), serta Anugerah Akademi Jakarta (2007). Dia memiliki gaya tersendiri saat membacakan puisinya, kadang kala jumpalitan di atas panggung, bahkan sambil tiduran dan tengkurap.
Penyair kondang lulusan FISIP Unpad jurusan Administrasi Negara, ini pada ulang tahun ke-67 Sutardji Calzoum Bachri, Selasa (24/6/2008) malam, yang diperingati di Pekanbaru, Riau, mendapat apresiasi dan kejutan.
Kejutan pertama dari rekan-rekannya di Dewan Kesenian Riau berupa penerbitan kumpulan puisi Atau Ngit Cari Agar dan buku …Dan, Menghidu Pucuk Mawar Hujan yang berisi kumpulan tulisan mengupas perjalanan sastranya. Atau Ngit Cari Agar adalah kumpulan puisi yang dia buat dalam kurun 1970-an hingga 2000-an. Puisi-puisi itu tak ada dalam buku kumpulan puisinya, Amuk (1977) dan Amuk Kapak (1981).
Kejutan tak terduga kedua ialah dari seorang pencinta seni Riau yang tak disebutkan namanya berupa uang Rp 100 juta. Soetardji tentu berterimakasih atas apresiasi itu, walau dia terlihat biasa saja saat menerima hadiah Rp 100 juta itu. “Sehebat-hebat karya sastra yang dihasilkan seniman tak berarti jika tidak mendapat apresiasi masyarakat,” ujarnya berterimakasih. Menurutnya, dia termasuk beruntung karena mendapat apresiasi.
Ketua Dewan Kesenian Riau Eddy Akhmad RM, mengatakan, pihaknya menabalkan Juni sebagai bulan Sutardji. Penabalan ini tak bermaksud mengultuskan Sutardji. Ini, katanya, pengakuan seniman Riau terhadap kemampuannya menjadi rajawali di langit, menjadi paus di laut yang bergelombang, menjadi kucing yang mencabik-cabik dalam dunia sastra Indonesia yang sempat membeku dan membisu setelah Chairil Anwar pergi. ?e-ti/binsar halomoan
***
Dalam karyanya berjudul Ayo (1998) dia bertanya: Adakah yang lebih tobat dibanding airmata adakah yang lebih mengucap dibanding airmata adakah yang lebih hakekat dibanding airmata adakah yang lebih lembut adakah yang lebih dahsyat dibanding airmata. (Ayo, Sutardji Calzoum Bachri, 1998)
Soetardji membacakan puisinya pada malam terakhir dalam rangkaian Festival Nopember 1999, Rabu (17/11/1999). Euphoria reformasi, di tangan penyair, sepertinya telah mencapai titik antiklimaks. Pembacaan puisi malamitu adalah buktinya. Gelar baca puisi yang menampilkan ‘presiden penyair Indonesia’ Soetardji Calzoum Bachri itu jauh dari teriakan euphoria reformasi, dan jauh dari sajak-sajak sosial yang gusar.
Kalau belakangan ini hampir seluruh ekspresi seni nasional menyerukan perjuangan dan tuntutan rakyat atas dominasi kekuasaan pemerintah, maka malam itu di gedung Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM), suara-suara para penyair — juga pada sajak-sajak Abdul Hadi WM, Leon Agusta dan Ahmadun YH yang malam itu tampil bersama Soetardji — lebih banyak mengendap dalam sajak-sajak yang kontemplatif.
Kalaulah Sutardji menyempatkan diri mengemukakan keprihatinannya atas perjuangan para mahasiswa melalui sajak Ayo, itu masih dalam jumlah yang kecil dibanding puisi-puisi lain yang juga dibacanya. Pun sajak-sajak hening yang dibawakan oleh Leon, Ahmadun, dan Abdul Hadi. Bahkan, Sutardji membacakan puisi romantis yang diterjemahkannya dari bahasa Spanyol tentang seorang perempuan lembut yang sarat cinta.
Pembacaan puisi-puisi kontemplatif itu terasa menyejukkan dan lebih mengena secara universal ketimbang sekadar sajak-sajak yang mereaksi peristiwa sosial-politik yang tengah terjadi di masyarakat. Sutardji yang membawakan beberapa karya terbarunya mengatakan sajak yang bermutu perlu proses pengendapan dan penghayatan, tak sekadar instan mereaksi yang ada. ”Ada atau tak ada peristiwa, sajak tetap bisa dibikin karena kita terus berpikir dan bertafakur,” paparnya.
Namun, kalau berbicara soal gaya dan pembawaan bersajak, Sutardji tetaplah Sutardji. Edan, namun bermakna dalam. ”Setiap orang harus membikin sidik jarinya sendiri, karakternya sendiri. Biar tak tenggelam dan bisa memberi warna,” kata pengklaim diri Presiden Penyair Indonesia ini.
Menggandeng dosen IKJ Tommy F Awuy sebagai pengiring musik, Sutardji membaca sajak-sajaknya dengan ditingkahi denting piano. Tak ketinggalan pula suara seraknya menyanyikan beberapa lagu evergreen Barat, antara lain My Way. Dan, ini merupakan daya tarik tersendiri bagi ‘penyair mantra’ yang belakangan sering diledek sebagai calon presiden Riau itu.
Gayanya yang jumpalitan di atas panggung, bahkan berpuisi sambil tiduran dan tengkurap, seperti telah menempel menjadi trade mark Sutardji. ”Aku tak pernah main-main sewaktu membikin sajak, aku serius. Tapi, ketika tampil aku berusaha apa adanya, santai namun memiliki arti,” katanya.
Apakah puisinya itu baik atau buruk, bagi Sutardji, ia berupaya dalam penyajiannya tak berjarak dengan penonton. ”Kehadiran sajak itu harus akrab dengan penonton, tak berjarak dengan kehidupan,” tambahnya. Tapi, beberapa penonton menilai penampilan Soetardji kali ini tidak setotal ketika ‘bertarung dalam satu panggung’ dengan Rendra dan Taufiq Ismail tahun lalu. Soal ini, dengan nada kelakar ia berkilah, ”soalnya honornya kecil, ya tampilnya setengah maksimal saja.”
Penyair sufistik Abdul Hadi WM, yang membawakan sajak-sajak lama (1981-1992), menenangkan suasana dengan tuturan kecintaan pada Allah SWT dan kekhidmatannya pada masjid. Menampilkan delapan puisi dengan gaya kalem ia sempat juga mengkritik keras kualitas kader bangsa. Simak saja dari sepenggal karyanya berjudul Dalam Pasang yang dibacakannya. ”Kita adalah penduduk negeri yang penuh pemimpin. Tapi tak seorang pun kita temukan dapat memimpin. Kita…….”
Kritik serupa juga hadir dalam sajak berjudul Kembali tak Ada Sahutan Disana yang mengungkapkan bahwa suksesi yang tak berlandaskan pada kearifan dan keadilan sama halnya lari dari kehancuran yang satu ke kehancuran lainnya. ”Bertikai memperebutkan yang tak pernah pasti dan ada. Dari generasi ke generasi. Menenggelamkan rumah sendiri. Ribut tak henti-henti….,” ujar Abdul Hadi.
Berbagai interpretasi tak terhindarkan bermunculan dari karya kontemplatif. Saat Abdul Hadi membacakan puisi Elegi, muncul perkiraan adanya korelasi dengan kian nampaknya eksistensi para seniman bekas anggota ormas terlarang yang menjadi musuh para pendukung Manifes Kebudayaan.
Musuh-musuhku, namun sahabat-sahabat setiaku juga.
Saban kali datang melukaiku dan kemudian menyembuhkan:
”Mari kita bangun jembatan,” dan kami pun segera membangun jembatan dan runtuh juga.
Mereka tak tahu dan aku pun sudah lupa ….
Dan seperti aku pula mereka adalah pemburu kekosongan dan kesia-siaan Mereka ingin membunuhku, karena mengira aku ingin membunuh mereka Aku ingin membunuh mereka karena mengira mereka ingin membunuhku Mari kita tolong mereka, mari kita tolong diri kita
Leon Agusta yang membuka acara pembacaan puisi ini tampil diam dan gagah. Membawakan beberapa puisi serial, ia mengajak penonton mengolah pikiran dan kebijakan atas segala fenomena kehidupan. Ayah peragawati kondang Hukla ini, tanpa banyak kata pengantar, menyajikan tuntas semua karyanya.

Kumpulan Puisi Sutardji Calzoum Bachri

Sutardji_Calzoum_Bachri_
  • ANA BUNGA
  • AYO
  • BATU
  • BAYANGKAN
  • GAJAH DAN SEMUT
  • JEMBATAN
  • KUCING
  • LA NOCHE DE LAS PALABRAS
    (EL DIARIO DE MEDELLIN)
  • LUKA
  • MANTERA
  • NGIAU
  • O
  • PARA PEMINUM
  • SEPISAUPI
  • TANAH AIR MATA
  • TAPI
  • TRAGEDI WINKA & SIHKA
  • WALAU 
  • SATU 
  • AMUK
  • IDUL FITRI
  • KUCING
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

ANA BUNGA
Terjemahan bebas (Adaptasi) dari puisi Kurt Schwittters, Anne Blumme 
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri

Oh kau Sayangku duapuluh tujuh indera
Kucinta kau
Aku ke kau ke kau aku
Akulah kauku kaulah ku ke kau
Kita ?
Biarlah antara kita saja
Siapa kau, perempuan tak terbilang
Kau
Kau ? - orang bilang kau - biarkan orang bilang
Orang tak tahu menara gereja menjulang
Kaki, kau pakaikan topi, engkau jalan
dengan kedua
tanganmu
Amboi! Rok birumu putih gratis melipat-lipat
Ana merah bunga aku cinta kau, dalam merahmu aku
cinta kau
Merahcintaku Ana Bunga, merahcintaku pada kau
Kau yang pada kau yang milikkau aku yang padaku
kau yang padaku
Kita?
Dalam dingin api mari kita bicara
Ana Bunga, Ana Merah Bunga, mereka bilang apa?
Sayembara :
                Ana Bunga buahku
                Merah Ana Bunga
                Warna apa aku?
Biru warna rambut kuningmu
Merah warna dalam buah hijaumu
Engkau gadis sederhana dalam pakaian sehari-hari
Kau hewan hijau manis, aku cinta kau
Kau padakau  yang milikau yang kau aku
yang milikkau
kau yang ku
Kita ?
Biarkan antara kita saja
pada api perdiangan
Ana Bunga, Ana, A-n-a, akun teteskan namamu
Namamu menetes bagai lembut lilin
Apa kau tahu Ana Bunga, apa sudah kau tahu?
Orang dapat membaca kau dari belakang
Dan kau yang paling agung dari segala
Kau yang dari belakang, yang dari depan
A-N-A
Tetes lilin mengusapusap punggungku
Ana Bunga
Oh hewan meleleh
Aku cinta yang padakau!
1999
Catatan: Terjemahan Anna Blume dikerjakan untuk panitia peringatan Kurt Schwitters, Niedersachen, Jerman.

OASE: Sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri
Republikaedisi : 28 November 1999


AYO 
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri

Adakah yang lebih tobat
dibanding air mata
adakah yang lebih mengucap
dibanding airmata
adakah yang lebih nyata
adakah yang lebih hakekat
dibanding airmata
adakah yang lebih lembut
adakah yang lebih dahsyat
dibanding airmata
para pemuda yang
melimpah di jalan jalan
itulah airmata
samudera puluhan tahun derita
yang dierami ayahbunda mereka
dan diemban ratusan juta
mulut luka yang terpaksa
mengatup diam
kini airmata
lantang menderam
meski muka kalian
takkan dapat selamat
di hadapan arwah sejarah
ayo
masih ada sedikit saat
untuk membasuh
pada dalam dan luas
airmata ini
ayo
jangan bandel
jangan nekat pada hakekat
jangan kalian simbahkan
gas airmata pada lautan airmata
                          malah tambah merebak
jangan letupkan peluru
logam akan menangis
dan tenggelam
             dikedalaman airmata
jangan gunakan pentungan
mana ada hikmah
mampat
karena pentungan
para muda yang raib nyawa
karena tembakan
yang pecah kepala
sebab pentungan
memang tak lagi mungkin
jadi sarjana atau apa saia
namun
mereka telah
nyempurnakan
bakat gemilang
sebagai airmata
yang kini dan kelak
selalu dibilang
bagi perjalanan bangsa
OASE: Sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri
Republika edisi : 28 November 1999


BATU 
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri

        batu mawar
        batu langit
        batu duka
        batu rindu
        batu janun
        batu bisu
        kaukah itu
                        teka
                                teki
        yang
        tak menepati janji ?
    Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan
    hati takjatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan
    seribu beringin ingin tak teduh.  Dengan siapa aku mengeluh?
    Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampa mengapa gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk
    diketatkan sedang hati tak sampai mengapa tangan melambai
    sedang lambai tak sampai.  Kau tahu
        batu risau
        batu pukau
        batu Kau-ku
        batu sepi
        batu ngilu
        batu bisu
        kaukah itu
                                teka
                        teki
                        yang
        tak menepati
                        janji ?
        Memahami Puisi, 1995
        Mursal Esten


BAYANGKAN
untuk Salim Said 
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri

direguknya
         wiski
            direguk
               direguknya
bayangkan kalau tak ada wiski di bumi
sungai tak mengalir dalam aortaku katanya
di luar wiski
           di halaman
                 anak-anak bermain
bayangkan kalau tak ada anak-anak di bumi
aku kan lupa bagaimana menangis katanya
direguk
   direguk
       direguknya wiski
            sambil mereguk tangis
lalu diambilnya pistol dari laci
bayangkan kalau aku tak mati mati katanya
dan ditembaknya kepala sendiri
bayangkan
1977 
sajak-sajak: Sutardji Calzoum Bachri
Date: Wed, 17 Nov 1999 01:27:04 -0800
Mailing List MSI Penyair
Pengirim Nanang Suryadi


GAJAH DAN SEMUT
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri

tujuh gajah
cemas
meniti jembut
serambut
tujuh semut
turun gunung
terkekeh
kekeh
perjalanan
kalbu
1976-1979
sajak-sajak: Sutardji Calzoum Bachri
Date: Wed, 17 Nov 1999 01:27:04 -0800
Mailing List MSI Penyair
Pengirim Nanang Suryadi


JEMBATAN
Oleh  :
Sutardji Calzoum Bachri

    Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung airmata
    bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi
    dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna.
    Maka aku pun pergi menatap pada wajah berjuta. Wajah orang
    jalanan yangberdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota.
    Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam
    para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan.
    Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase
    indah di berbagai palaza. Wajah yang diam-diam menjerit
    mengucap
    tanah air kita satu
    bangsa kita satu
    bahasa kita satu
    bendera kita satu !
    Tapi wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan jalan
    mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan
    tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah
    yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang
    di antara kita ?
    Di lembah-lembah kusam pada puncak tilang kersang dan otot
    linu mengerang mereka pancangkan koyak-miyak bendera hati
    dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak ammpu
    mengucapkan kibarnnya.
    Lalu tanpa tangis mereka menyanyi padamu negeri airmata kami.
Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air

KUCING
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri

            ngiau!  Kucing dalam  darah dia menderas
            lewat  dia  mengalir  ngilu  ngiau  dia  ber
            gegas  lewat dalam aortaku dalam rimba
            darahku dia  besar dia bukan harimau bu
            kan singa bukan  hiena  bukan leopar  dia
            macam kucing bukan kucing  tapi   kucing
            ngiau dia lapar dia  merambah  rimba  af
            rikaku dengan cakarnya dengan amuknya
            dia meraung  dia mengerang jangan beri
            daging dia tak  mau daging Jesus jangan
            beri  roti  dia  tak   mau   roti   ngiau   ku
            cing   meronta  dalam  darahku  meraung
            merambah  barah  darahku  dia lapar 0 a
            langkah  lapar   ngiau   berapa  juta  hari
            dia  tak  makan  berapa  ribu  waktu  dia
            tak  kenyang  berapa juta lapar lapar ku
            cingku  berapa  abad  dia mencari menca
            kar  menunggu  tuhan mencipta kucingku
            tanpa mauku dan sekarang  dia  meraung
            mencariMu  dia   lapar   jangan   beri  da
            ging   jangan   beri  nasi  tuhan  mencipta
            nya  tanpa  setahuku  dan  kini  dia  minta
            tuhan  sejemput  saja  untuk tenang seha
            ri  untuk  kenyang  sewaktu untuk tenang
        Memahami Puisi, 1995
        Mursal Esten


LA NOCHE DE LAS PALABRAS
(EL DIARIO DE MEDELLIN)

Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri

Di cafe jalanan Noventa Y Sieta, Medellin, Columbia
kami mengepung bulan
dan mereka yang mendengarkan puisi kami
mencoba menaklukkan bulan dengan cara mereka
berkomplot dengan anggur daun cerbeza
bersekongkol dengan gadisgadis
memancing bulan dengan keluasan dada
Musim panas
Menjulang di Medelin
menampilkan sutera
di keharibaan malam cuaca
ratusan para lilin
menyandar di pundak malam
mengucap
menyebutnyebut cahaya
sambil mencoba
memahami takdir di wajah-wajah usia
kami para penyair
meneruskan zikir kami
-palabras palabras palabras palabras
-
--kata kata kata kata --
semakin kental mengucap
cahaya pun memadat
sampai kami bisa buat
sesuka kami atas padat cahaya
lantas bulan kesurupan
kesadaran kami meninggi
bulan turun pada kami
dan kami mengatasi bulan
sampailah kami pada kerajaan kata-kata
jika kami membilang ayah
ia juga ayah kata-kata
jika kami menyebut hari
juga harinya kata-kata
jika kami mengucap diri
pastilah juga diri kata kata
Di cafe jalanan Medellin
purnama jatuh
kata-kata menjadi kami
kami menjadi kata kata
Medellin, Colombia 1997
OASE: Sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri
Republikaedisi : 28 November 1999


LUKA 
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri

ha ha
sajak-sajak: Sutardji Calzoum Bachri
Date: Wed, 17 Nov 1999 01:27:04 -0800
Mailing List MSI Penyair
Pengirim Nanang Suryadi


MANTERA
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri

                    lima percik mawar
                    tujuh sayap merpati
                    sesayat langit perih
                    dicabik puncak gunung
                    sebelas duri sepi
                    dalam dupa rupa
                    tiga menyan luka
                    mengasapi duka
                    puah!
                    kau jadi Kau!
                    Kasihku
        Memahami Puisi, 1995
        Mursal Esten


NGIAU 
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri

Suatu gang panjang menuju lumpur dan terang tubuhku mengapa
panjang. Seekor kucing menjinjit tikus yang menggelepar
tengkuknya. Seorang perempuan dan seorang lelaki bergigitan.
Yang mana kucing yang mana tikusnya? Ngiau! Ah gang
yang panjang. Cobalah tentukan! Aku kenal Afrika aku kenal
Eropa aku tahu Benua aku kenal jam aku tagu jentara
aku kenal terbang. Tapi bila dua manusia saling gigitan
menanamkan gigi-gigi sepi mereka akan ragu menetapkan yang
mana suka yang mana luka yang mana hampa yang mana
makna yang mana orang yang mana kera yang mana dosa yang
mana surga.
sajak-sajak: Sutardji Calzoum Bachri
Date: Wed, 17 Nov 1999 01:27:04 -0800
Mailing List MSI Penyair
Pengirim Nanang Suryadi


O
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri

dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau
resahku resahkau resahrisau resahbalau resahkalian
raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian
mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai
siasiaku siasiakau siasia siabalau siarisau siakalian siasia
waswasku waswaskau waswaskalian waswaswaswaswaswaswaswaswaswas
duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai
oku okau okosong orindu okalian obolong o risau o Kau O...
sajak-sajak: Sutardji Calzoum Bachri
Date: Wed, 17 Nov 1999 01:27:04 -0800
Mailing List MSI Penyair
Pengirim Nanang Suryadi


PARA PEMINUM
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri

di lereng lereng
para peminum
mendaki gunung mabuk
kadang mereka terpeleset
jatuh
dan mendaki lagi
memetik bulan
di puncak
mereka oleng
tapi mereka bilang
--kami takkan karam
dalam lautan bulan--
mereka nyanyi nyanyi
jatuh
dan mendaki lagi
di puncak gunung mabuk
mereka berhasil memetik bulan
mereka menyimpan bulan
dan bulan menyimpan mereka
di puncak
semuanya diam dan tersimpan
Sajak-sajak: Sutardji Calzoum Bachri
Date: Wed, 17 Nov 1999 01:27:04 -0800
Mailing List MSI Penyair
Pengirim Nanang Suryadi


SEPISAUPI 
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri

sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi
sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupoi
sepikul diri keranjang duri
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya ke dalam nyanyi
1973 
sajak-sajak: Sutardji Calzoum Bachri
Date: Wed, 17 Nov 1999 01:27:04 -0800
Mailing List MSI Penyair
Pengirim Nanang Suryadi


TANAH AIR MATA
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri

                Tanah airmata tanah tumpah dukaku
                mata air airmata kami
                airmata tanah air kami
                di sinilah kami berdiri
                menyanyikan airmata kami
                di balik gembur subur tanahmu
                kami simpan perih kami
                di balik etalase megah gedung-gedungmu
                kami coba sembunyikan derita kami
                kami coba simpan nestapa
                kami coba kuburkan duka lara
                tapi perih tak bisa sembunyi
                ia merebak kemana-mana
                bumi memang tak sebatas pandang
                dan udara luas menunggu
                namun kalian takkan bisa menyingkir
                ke manapun melangkah
                kalian pijak airmata kami
                ke manapun terbang
                kalian kan hinggap di air mata kami
                ke manapun berlayar
                kalian arungi airmata kami
                kalian sudah terkepung
                takkan bisa mengelak
                takkan bisa ke mana pergi
                menyerahlah pada kedalaman air mata
                (1991) 
                Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air

TAPI
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri

        aku bawakan bunga padamu
                                                        tapi kau bilang masih
        aku bawakan resahku padamu
                                                        tapi kau bilang hanya
        aku bawakan darahku padamu
                                                        tapi kau bilang cuma
        aku bawakan mimpiku padamu
                                                        tapi kau bilang meski
        aku bawakan dukaku padamu
                                                        tapi kau bilang tapi
        aku bawakan mayatku padamu
                                                        tapi kau bilang hampir
        aku bawakan arwahku padamu
                                                        tapi kau bilang kalau
        tanpa apa aku datang padamu
                                                        wah !
        Memahami Puisi, 1995
        Mursal Esten


  TRAGEDI WINKA & SIHKA
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri

             kawin
                     kawin
                              kawin
                                      kawin
                                                    kawin
                                              ka
                                          win
                                       ka
                                  win
                              ka
                          win
                      ka
                win
            ka
                winka
                        winka
                                winka
                                        sihka
                                                sihka
                                                        sihka
                                                                sih
                                                            ka
                                                        sih
                                                    ka
                                                sih
                                            ka
                                        sih
                                    ka
                                sih
                            ka
                                sih
                                    sih
                                        sih
                                            sih
                                                sih
                                                    sih
                                                        ka
                                                            Ku
        Memahami Puisi, 1995
        Mursal Esten


WALAU
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri

        Walau penyair besar
        takkan sampai sebatas allah
        dulu pernah kuminta tuhan
        dalam diri
        sekarang tak
        kalau mati
        mungkin matiku bagai batu tamat bagai pasir tamat
        tujuh puncak membilang-bilang
        nyeri hari mengucap-ucap
        di butir pasir kutulis rindu rindu
        walau huruf habislah sudah
        alif bataku belum sebatas allah
        Memahami Puisi, 1995
        Mursal Esten 


SATU
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri


kuterjemahkan tubuhku ke dalam tubuhmu
ke dalam rambutmu kuterjemahkan rambutku
jika tanganmu tak bisa bilang tanganku
kuterjemahkan tanganku ke dalam tanganmu
jika lidahmu tak bisa mengucap lidahku
kuterjemahkan lidahku ke dalam lidahmu
aku terjemahkan jemariku ke dalam jemarimu
jika jari jemarimu tak bisa memetikku
ke dalam darahmu kuterjemahkan darahku
kalau darahmu tak bisa mengucap darahku
jika ususmu belum bisa mencerna ususku
kuterjemahkan ususku ke dalam ususmu
kalau kelaminmu belum bilang kelaminku
aku terjemahkan kelaminku ke dalam kelaminmu

daging kita satu arwah kita satu
walau masing jauh
yang tertusuk padamu berdarah padaku

Pil
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri


Memang pil seperti pil macam pil walau pil
Hanya pil hampir pil sekedar pil ya toh pil
Meski pil tapi tak pil apalah pil
Pil pil pil mengapa gigil ?
Aku demam pil bilang
Obat jadi barah
Apakah pasien ?
Tempeleng !


AMUK
karya: Sutardji C. Bachri

.... aku bukan penyair sekedar
aku depan
depan yang memburu
membebaskan kata memanggilMu

pot pot pot
pot pot
kalau pot tak mau pot
biar pot semau pot
mencari pot
pot
hei Kau dengar manteraku
Kau dengar kucing memanggilMu
izukalizu
pot
hei Kau dengar manteraku
Kau dengar kucing memanggilMu
izukalizu mapakazaba itasatali
tutulita papaliko arukabazaku kodega zuzukalibu
tutukaliba dekodega zamzam lagotokoco zukuzangga
zegezegeze zukuzangga zegezegeze zukuzangga
zegezegeze zukuzangga zegezegeze aahh...!
nama kalian bebas carilah tuhan semaumu


Idul Fitri

Lihat
Pedang tobat ini menebas-nebas hati
dari masa lampau yang lalai dan sia
Telah kulaksanakan puasa ramadhanku,
telah kutegakkan shalat malam
telah kuuntaikan wirid tiap malam dan siang
Telah kuhamparkan sajadah
Yang tak hanya nuju Ka’bah
tapi ikhlas mencapai hati dan darah
Dan di malam-malam Lailatul Qadar akupun menunggu
Namun tak bersua Jibril atau malaikat lainnya
Maka aku girang-girangkan hatiku

Aku bilang:
Tardji rindu yang kau wudhukkan setiap malam
Belumlah cukup untuk menggerakkan Dia datang
Namun si bandel Tardji ini sekali merindu
Takkan pernah melupa
Takkan kulupa janji-Nya
Bagi yang merindu insya Allah ka nada mustajab Cinta
Maka walau tak jumpa denganNya
Shalat dan zikir yang telah membasuh jiwaku ini
Semakin mendekatkan aku padaNya
Dan semakin dekat
semakin terasa kesia-siaan pada usia lama yang lalai berlupa

O lihat Tuhan, kini si bekas pemabuk ini
ngebut
di jalan lurus
Jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoir
tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia
Kini biarkan aku meneggak marak CahayaMu
di ujung sisa usia
O usia lalai yang berkepanjangan
Yang menyebabkan aku kini ngebut di jalan lurus
Tuhan jangan Kau depakkan aku lagi ke trotoir
tempat aku dulu menenggak arak di warung dunia

Maka pagi ini
Kukenakan zirah la ilaha illAllah
aku pakai sepatu sirathal mustaqim
aku pun lurus menuju lapangan tempat shalat Id
Aku bawa masjid dalam diriku
Kuhamparkan di lapangan
Kutegakkan shalat
Dan kurayakan kelahiran kembali
di sana


KUCING


ngiau! Kucing dalam darah dia menderas
lewat dia mengalir ngilu ngiau dia ber
gegas lewat dalam aortaku dalam rimba
darahku dia besar dia bukan harimau bu
kan singa bukan hiena bukan leopar dia
macam kucing bukan kucing tapi kucing
ngiau dia lapar dia merambah rimba af
rikaku dengan cakarnya dengan amuknya
dia meraung dia mengerang jangan beri
daging dia tak mau daging Jesus jangan
beri roti dia tak mau roti ngiau ku
cing meronta dalam darahku meraung
merambah barah darahku dia lapar 0 a
langkah lapar ngiau berapa juta hari
dia tak makan berapa ribu waktu dia
tak kenyang berapa juta lapar lapar ku
cingku berapa abad dia mencari menca
kar menunggu tuhan mencipta kucingku
tanpa mauku dan sekarang dia meraung
mencariMu dia lapar jangan beri da
ging jangan beri nasi tuhan mencipta
nya tanpa setahuku dan kini dia minta
tuhan sejemput saja untuk tenang seha
ri untuk kenyang sewaktu untuk tenang



Wahai pemuda mana telurmu?


Apa gunanya merdeka
Kalau tak bertelur
Apa gunanya bebas
Kalau tak menetas?

Wahai bangsaku
Wahai pemuda
Mana telurmu?

Burung jika tak bertelur
Tak menetas
Sia-sia saja terbang bebas

Kepompong menetaskan
kupu-kupu,
Kuntum membawa bunga
Putik jadi buah
Buah menyimpan biji
Menyimpan mimpi
Menyimpan pohon
dan bunga-bunga

Uap terbang menetas awan
Mimpi jadi, sungai pun jadi,
Menetas jadi,
Hakekat lautan

Setelah kupikir-pikir
Manusia ternyata burung berpikir

Setelah kurenung-renung
Manusia adalah
burung merenung

Setelah bertafakur
Tahulah aku
Manusia harus bertelur

Burung membuahkan telur
Telur menjadi burung
Ayah menciptakan anak
Anak melahirkan ayah

Wahai para pemuda
Wahai garuda
Menetaslah
Lahirkan lagi
Bapak bagi bangsa ini!

Menetaslah
Seperti dulu
Para pemuda
Bertelur emas

Menetas kau
Dalam sumpah mereka

SCB,
7 Agustus 2010






Sumber: 
http://id.wikipedia.org/wiki/Sutardji_Calzoum_Bachri
http://www.tokohindonesia.com
 http://crossfire-net.blogspot.com/2009/05/kumpulan-puisi-sutardji-calzoum-bachri.html#ixzz2lYcQFefc